Beranda | Artikel
Safinatun Naja: Aturan Shalat Berjamaah
Selasa, 4 Januari 2022

Berikut adalah aturan shalat berjamaah dari kitab Safinatun Naja dengan penjelasan dari Nail Ar-Raja’.

 

 

[KITAB SHALAT]

[Niat Imamah]

الَّذِيْ يَلْزَمُ فِيْهِ نِيَّةُ الإمَامَةِ أَرْبَعٌ:

1- الْجُمُعَةُ.

وَ2- الْمُعَادَةُ.

وَ3- الْمَنْذُوْرَةُ جَمَاعَةً.

وَ4-الْمُتَقَدِّمَةُ فِيْ الْمَطَرِ.

Fasal: Shalat yang mengharuskan meniatkan imamah ada 4, yaitu [1] shalat Jumat, [2] mu’adah (shalat yang diulang), [3] shalat yang dinadzarkan berjamaah, dan [4] shalat jamak takdim saat hujan.

Catatan:

Seorang imam wajib berniat sebagai imam saat takbiratul ihram pada empat shalat, yaitu:

  1. Shalat Jumat
  2. Shalat mu’adah (yang diulang)
  3. Shalat yang dinadzarkan berjamaah
  4. Shalat jamak takdim karena hujan

Apabila imam tidak berniat sebagai imam pada empat shalat di atas, maka shalatnya tidak sah, kecuali shalat yang dinadzarkan berjamaah, maka shalat tersebut dianggap shalat sendiri dan berdosa karena meninggalkan nadzarnya.

Tidak wajib bagi imam untuk berniat sebagai imam di selain empat shalat tersebut. Namun, harus diniatkan untuk mendapatkan fadhilah berjamaah. Apabila berniat di tengah shalatnya, maka akan mendapatkan fadhilah berjamaah sejak diniatkan.

 

Shalat Berjamaah Jangan Sampai Ditinggalkan Selain Ada Uzur

Imam Syafii rahimahullah mengingatkan,

وَ أَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107).

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

لاَ رُخْصَةَ فِي تَرْكِ الجَمَاعَةِ سَوَاءٌ قُلْنَا سُنَّةٌ أَوْ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ عَامٍ أَوْ خَاصٍ

“Tidak ada keringanan meninggalkan shalat berjamaah, baik kita memilih pendapat shalat berjamaah itu sunnah ataukah fardhu kifayah. Boleh meninggalkan shalat berjamaah ketika ada uzur umum atau uzur khusus.” (Raudhah Ath-Thalibin, 1:240)

 

Uzur Tidak Melaksanakan Shalat Berjamaah di Masjid

Pertama: Uzur umum

Uzur ini berlaku bagi setiap orang. Contohnya adalah hujan, tetapi disyaratkan adanya masyaqqah (kesulitan).

Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah berazan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “ALAA SHOLLU FIR RIHAAL” (artinya: hendaklah kalian shalat di rumah kalian). Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muazin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan:

أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ

ALAA SHOLLU FIR RIHAAL (artinya: hendaklah kalian shalat di rumah kalian).” (HR. Muslim, no. 697)

Kedua: Uzur khusus

  1. Sakit
  2. Sangat lapar atau haus
  3. Ingin buang hajat
  4. Takut akan terkena mudarat
  5. Makan sesuatu yang menimbulkan bau tidak enak yang mesti dihilangkan terlebih dahulu
  6. Takut ketinggalan rombongan ketika safar
  7. Keadaan sangat kantuk karena menunggu shalat berjamaah
  8. Menyelamatkan orang yang butuh untuk segera ditolong

Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:410-412

[Syarat Mengikuti Imam]

شُرُوْطُ الْقُدْوَةِ أَحَدَ عَشَرَ:

1- أَنْ لاَ يَعْلَمَ بُطْلاَنَ صلاَةِ إِمَامِهِ بِحَدَثٍ أَوْ غَيْرِهِ.

وَ2- أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ وُجُوبَ قَضَائِهَا عَلَيْهِ.

وَ3- أَنْ لاَ يَكُوْنَ مَأْمُوْمَاً.

وَ4- لاَ أُمِّيّاً.

وَ5- أَنْ لاَ يَتَقَدَّمَ عَلَى إَمَامِهِ فِيْ الْمَوْقِفِ.

وَ6- أَنْ يَعْلَمَ انْتِقَالاَتِ إِمَامِهِ.

وَ7- أَنْ يَجْتَمِعَا فِيْ مَسْجِدٍ، أَوْ ثَلاَثِ مِئَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيبَاً.

وَ8- أَنْ يَنْوِيَ الْقُدْوَةَ أَوِ الْجَمَاعَةَ.

وَ9- أَنْ يَتَوَافَقَ نَظْمُ صَلاَتَيْهِمَا.

وَ10- أَنْ لاَ يُخَالِفَهُ فِيْ سُنَّةٍ فَاحِشَةِ الْمُخَالَفَةِ.

وَ11- أَنْ يُتَابِعَهُ.

Fasal: Syarat mengikuti imam (menjadi makmum) ada 11, yaitu [1] mengetahui shalatnya imam tidak batal baik karena hadats atau lainnya, [2] meyakini shalatnya tidak perlu diulang (diqadha’), [3] imam tidak sedang menjadi makmum, [4]  imam tidak ummi (tidak bisa baca surah Al-Fatihah dengan benar), [5] makmum tidak mendahului imam dalam tempat shalatnya, [6] mengetahui perpindahan gerakan imam, [7] imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid, atau kira-kira 300 hasta, [8] meniatkan menjadi makmum atau berjamaah, [9] shalat keduanya bersesuaian (berurutan), [10] tidak menyelisihi imam dalam sunnah yang jelas perbedaannya, dan [11] mengikuti imam.

Catatan:

شُرُوْطُ الْقُدْوَةِ أَحَدَ عَشَرَ:

Syarat sah shalat berjamaah antara makmum dan imam ada sebelas syarat:

1- أَنْ لاَ يَعْلَمَ بُطْلاَنَ صلاَةِ إِمَامِهِ بِحَدَثٍ أَوْ غَيْرِهِ.

[1] mengetahui shalatnya imam tidak batal baik karena hadats atau lainnya,

Syarat pertama adalah makmum tidak mengetahui bahwa shalat imam batal dengan sesuatu yang disepakati oleh imam dan makmum, seperti hadats dan kafir.

Termasuk mengetahui batalnya imam adalah bila meyakini hal tersebut, walaupun tidak dihukumi batalnya shalat imam, seperti dua orang yang berijtihad dalam menentukan kiblat atau dua air dan dua baju (yang salah satunya suci dan yang lain mutanajjis). Keduanya menghasilkan ijtihad yang berbeda, maka tidak sah berjamaah salah satu di antara keduanya dengan yang lain.

وَ2- أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ وُجُوبَ قَضَائِهَا عَلَيْهِ.

[2] meyakini shalatnya tidak perlu diulang (diqadha’),

Syarat kedua adalah makmum tidak berkeyakinan bahwa shalat imam perlu diqadha’ (mu’aadah), seperti seorang yang berhadats dan tidak ditemui air ataupun debu (faaqid li ath-thohuuroin), walaupun makmum keadaannya sama dengan imam.

وَ3- أَنْ لاَ يَكُوْنَ مَأْمُوْمَاً.

[3] imam tidak sedang menjadi makmum,

Syarat ketiga adalah imam tidak sedang menjadi makmum ketika diikuti, karena mustahil ia menjadi seorang yang mengikuti (taabi’) dan diikuti (matbuu’) pada waktu yang sama.

Apabila shalat berjamaah telah selesai dan berdiri makmum masbuq, maka diperbolehkan mengikutinya, walaupun dalam shalat Jumat—menurut Ibnu Hajar–, tetapi hal ini berbeda dengan pendapat Ar-Ramli.

Seandainya ada dua orang, lantas bingung, apakah ini yang imam ataukah ini, maka tidak sah bermakmum pada salah satu dari keduanya. Kecuali ia berijtihad manakah yang menjadi imam, demikian menurut Ar-Ramli. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibnu Hajar.

وَ4- لاَ أُمِّيّاً.

[4]  imam tidak ummi (tidak bisa baca surah Al-Fatihah dengan benar),

Ummi secara bahasa berarti tidak bisa membaca dan menulis.

Menurut istilah fuqoha, ummi adalah tidak baik dalam membaca satu huruf dari Al-Fatihah.

Syarat yang dimaksud di sini adalah imam tidak diperbolehkan salah dalam mengucapkan satu huruf atau tasydid dari surah Al-Fatihah, sedangkan makmum dapat mengucapkannya dengan baik, yaitu imam tidak mampu mengucapkannya sama sekali atau tidak dapat mengucapkannya sesuai makhraj hurufnya atau tidak dapat mengucapkan tasydidnya.

Apabila keadaan makmum sama seperti imam, yaitu tidak dapat mengucapkannya dengan baik surah Al-Fatihah, shalatnya tetap sah.

Dimakruhkan pula berjamaah dengan seorang imam yang salah dalam mengucapkan huruf-hurufnya, tetapi tidak mengubah makna.

وَ5- أَنْ لاَ يَتَقَدَّمَ عَلَى إَمَامِهِ فِيْ الْمَوْقِفِ.

[5] makmum tidak mendahului imam dalam tempat shalatnya,

Syarat yang dimaksud adalah makmum tidak boleh mendahului imam dalam tempat shalatnya, yaitu seluruh bagian penopang makmum tidak boleh mendahului sebagian dari apa yang menjadi penopang imam, dalam berdiri atau selainnya.

Makmum tidak boleh lebih depan dari imam dalam hal makmum berdiri lebih depan dari tumitnya imam atau duduk melebihi pantatnya imam, atau berbaring melebihi sisi miringnya atau telentang melebihi kepalanya.

Apabila makmum sejajar dengan imam, maka termasuk makruh yang dapat menghilangkan pahala berjamaah dalam menyamai imam pada tempatnya saja.

وَ6- أَنْ يَعْلَمَ انْتِقَالاَتِ إِمَامِهِ.

[6] mengetahui perpindahan gerakan imam,

Yaitu makmum mengetahui–atau sekadar zhann (sangkaan)–perpindahan gerakan imam sebelum masuk pada rukun yang ketiga (terlambat dua rukun perbuatan). Hal itu dapat dilakukan dengan:

  • melihat imam,
  • melihat sebagian makmum,
  • mendengar suara imam, atau
  • mendengar suara penyampai imam (muballigh shaut), walaupun orang yang menyampaikan itu sedang tidak shalat 

وَ7- أَنْ يَجْتَمِعَا فِيْ مَسْجِدٍ، أَوْ ثَلاَثِ مِئَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيبَاً.

[7] imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid, atau kira-kira 300 hasta,

Syarat ini maksudnya adalah terkumpulnya imam dan makmum yaitu orang yang berada di belakangnya atau berada di salah satu sisinya, dan setiap dua shaf entah di masjid atau di suatu tempat selain masjid yang tidak lebih jaraknya antara keduanya dari 300 hasta (secara perkiraan).

Sehingga bila masih di dalam masjid, tidak berpengaruh jauhnya jarak, penghalang berupa bangunan jendela, pintu yang tertutup tanpa dipaku walaupun tidak ada kuncinya, tetapi disyaratkan adanya kemungkinan untuk lewat dari tempat salah satunya menuju tempat yang lain.

Namun, bila berada di selain masjid disyaratkan jarak antara keduanya dekat sebagaimana yang disebutkan dan syarat-syarat lain seperti bila berada di dalam masjid, dan ditambahkan syarat lain, yaitu tidak ada penghalang yang mencegah seseorang untuk lewat.

Masih diperbolehkan jarak yang jauh antara imam dan akhir shaf, walaupun mencapai beberapa mil, tetapi dengan syarat adanya kemungkinan makmum untuk mengikuti imamnya, dan tidak diperbolehkan makmum yang berada di shaf belakang mendahului makmum yang ada di depannya dalam gerakan shalatnya jika imam tidak terlihat.

وَ8- أَنْ يَنْوِيَ الْقُدْوَةَ أَوِ الْجَمَاعَةَ.

[8] meniatkan menjadi makmum atau berjamaah,

Yaitu makmum berniat mengikuti imam atau siapa yang ada di mihrab atau niat berjamaah, walaupun ketika berada di tengah shalatnya, tetapi hal itu dimakruhkan dan menghilangkan pahala shalat berjamaah, karena menjadikan dirinya sebagai pengikut setelah sebelumnya shalat sendiri. 

وَ9- أَنْ يَتَوَافَقَ نَظْمُ صَلاَتَيْهِمَا.

[9] shalat keduanya bersesuaian (berurutan),

Yaitu adanya kesamaan dalam aturan shalat imam dan shalat makmum dalam gerakan zhahirnya, walaupun berbeda jumlah rakaat atau niatnya. Sehingga tidak sah shalat fardhu lima waktu berjamaah dengan shalat gerhana yang dilakukan dengan dua kali berdiri dan dua kali rukuk (dalam satu rakaat), atau dengan shalat jenazah. Begitu pula sebaliknya. 

وَ10- أَنْ لاَ يُخَالِفَهُ فيْ سُنَّةٍ فَاحِشَةِ الْمُخَالَفَةِ.

[10] tidak menyelisihi imam dalam sunnah,

Syarat ini adalah makmum harus mengikuti imam dalam perbuatan sunnah yang tampak berbeda bila tidak mengikutinya, baik dalam mengerjakannya atau meninggalkannya.

Apabila imam meninggalkan sujud tilawah sedangkan makmum sujud atau imam sujud tilawah dan makmum meninggalkan sujud atau imam meninggalkan tasyahhud awal sedangkan makmum melakukan tasyahud awal, shalat makmum dianggap batal.

Catatan:

  • Bila imam tasyahud dan makmum berdiri dengan sengaja, maka hal itu membatalkan shalat makmum, karena ia berpindah dari hal yang wajib menuju yang wajib pula.
  • Bila makmum berdiri karena lupa (tidak tasyahhud awal), maka wajib baginya kembali menuju duduk. Bila tidak kembali, batallah shalatnya.

وَ11- أَنْ يُتَابِعَهُ.

dan [11] mengikuti imam.

Yaitu mengikuti imam dalam hal tempat, perbuatan, dan takbiratul ihram.

Ingat bahasan pembatal shalat sebelumnya, ada kalimat:

وَ11- التَّقَدُّمِ عَلَى إِمَامِهِ بِرُكْنَيْنِ، وَالتَّخَلُّفِ بِهِمَا بِغَيْرِ عُذْرٍ.

“Mendahului atau terlambat dari imam dalam dua rukun tanpa uzur.”

Wajib bagi makmum tidak boleh mendahului imam atau terlambat dari imam dengan dua rukun perbuatan tanpa adanya uzur.

Mengikuti imam dalam takbiratul ihram maknanya adalah seluruh ucapan takbiratul ihram makmum harus terlambat dari seluruh ucapan takbiratul ihram dari imam. Apabila membarengi takbiratul ihram imam atau membarengi sebagian darinya, maka tidak sah shalatnya.

 

[Pembagian Makmum]

صُوَرُ الْقُدْوَةِ تِسْعٌ:

تَصِحُّ فِيْ خَمْسٍ:

1- قُدْوَةُ رَجُلٍ.

وَ2- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِرَجُلٍ.

وَ3-قُدْوَةُ خُنْثَى بِرَجُلٍ.

وَ4- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِخُنْثَى.

وَ5- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِامْرَأَةٍ.

وَتَبْطُلُ فِيْ أَرْبَعٍ:

1- قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ.

وَ2- قُدْوَةُ رَجُلٍ بِخُنْثَى.

وَ3- قُدْوَةُ خُنْثَى بِامْرَأَةٍ.

وَ4- قُدْوَةُ خُنْثَى بِخُنْثَى.

Fasal: Gambaran makmum ada 9 kasus, tetapi hanya 5 yang sah, yaitu [1] lelaki bermakmum kepada lelaki, [2] perempuan bermakmum kepada lelaki, [3] khuntsa bermakmum kepada lelaki, [4] perempuan bermakmum kepada khuntsa, dan [5] peremuan bermakmum kepada perempuan.

Empat kasus lainnya batal shalatnya, yaitu [1] lelaki bermakmum kepada perempuan, [2] lelaki bermakmum kepada khuntsa, [3] khuntsa bermakmum kepada wanita, dan [4] khuntsa bermakmum kepada khuntsa.

Catatan:

Yang dimaksud adalah: gambaran shalat berjamaah antara imam dan makmum tidak lepas dari salah satu di antara sembilan gambaran berikut: (1) kelompok yang dianggap sah shalat jamaahnya, (2) kelompok yang dianggap batal shalat jamaahnya.

– Menurut para ahli fiqh, khuntsa dapat didefinisikan sebagai manusia yang mempunyai dua alat kelamin pria dan wanita yang menyatu dalam individu yang satu.

– Sedangkan mukhannats adalah yang menyerupai perempuan dalam kelemahlembutan, perkataan, penglihatan, dan gerak. Ada yang mukhannats sejak lahir dan ada yang sengaja membuat-buat dirinya menyerupai perempuan. Mukhannats jenis kedua ini yang kita sebut dengan waria (banci) saat ini.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 20:21-22.

[Pembagian Makmum]

صُوَرُ الْقُدْوَةِ تِسْعٌ:

تَصِحُّ فِيْ خَمْسٍ:

1- قُدْوَةُ رَجُلٍ.

وَ2- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِرَجُلٍ.

وَ3-قُدْوَةُ خُنْثَى بِرَجُلٍ.

وَ4- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِخُنْثَى.

وَ5- قُدْوَةُ امْرَأَةٍ بِامْرَأَةٍ.

وَتَبْطُلُ فِيْ أَرْبَعٍ:

1- قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ.

وَ2- قُدْوَةُ رَجُلٍ بِخُنْثَى.

وَ3- قُدْوَةُ خُنْثَى بِامْرَأَةٍ.

وَ4- قُدْوَةُ خُنْثَى بِخُنْثَى.

Fasal: Gambaran makmum ada sembilan kasus, tetapi hanya lima yang sah, yaitu [1] lelaki bermakmum kepada lelaki, [2] perempuan bermakmum kepada lelaki, [3] khuntsa bermakmum kepada lelaki, [4] perempuan bermakmum kepada khuntsa, dan [5] peremuan bermakmum kepada perempuan. Empat kasus lainnya batal shalatnya, yaitu [1] lelaki bermakmum kepada perempuan, [2] lelaki bermakmum kepada khuntsa, [3] khuntsa bermakmum kepada wanita, dan [4] khuntsa bermakmum kepada khuntsa.

 

Catatan:

Yang dimaksud adalah: gambaran shalat berjamaah antara imam dan makmum tidak lepas dari salah satu di antara sembilan gambaran berikut:

(1) kelompok yang dianggap sah shalat jamaahnya,

(2) kelompok yang dianggap batal shalat jamaahnya.

Kelompok yang dianggap sah itu karena:

  • Dalam keadaan yang sama
  • Imam lebih sempurna dari makmum secara yakin
  • Bisa jadi lebih sempurna atau sama, karena khuntsa pada hakikatnya bisa jadi wanita, bisa jadi juga pria.

Kelompok yang dianggap tidak sah itu karena:

  • Imam keadaannya lebih kurang dari makmum.
  • Kemungkinan imam hakikatnya adalah wanita sedangkan makmum laki-laki, ini pada kasus khuntsa mengimami sesama khuntsa.

 

Referensi:

Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

Catatan 04-11-2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/31658-safinatun-naja-aturan-shalat-berjamaah.html